Dorongan besar Indonesia untuk mengandalkan gas alam sebagai sumber energi mendapat kritik tajam dari para ahli, yang menilai langkah tersebut dapat memperkuat ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan kedok energi bersih. Menurut mereka, kebijakan ini berpotensi merugikan ekonomi nasional, membahayakan kesehatan masyarakat, serta memperparah krisis iklim.
Dalam laporan terbaru yang disusun oleh lembaga kajian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bersama Greenpeace Indonesia, terungkap sejumlah risiko besar dari ketergantungan terhadap gas alam. Saat ini, sekitar seperempat jaringan listrik nasional atau setara 26 gigawatt (GW) sudah berasal dari pembangkit berbasis gas. Pemerintah bahkan berencana menambah kapasitas hingga 22 GW lagi sebelum tahun 2040.
Namun, bahkan jika hanya sebagian kecil dari proyek tersebut yang terwujud — sekitar 2,6 GW — maka emisi tahunan Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 5,97 juta metrik ton karbon dioksida dan 5.332 metrik ton metana. Jika seluruh target 22 GW tercapai, maka emisi gas rumah kaca bisa melonjak hingga 49 juta metrik ton CO₂ dan hampir 44.000 metrik ton metana setiap tahun. Angka ini sangat bertolak belakang dengan komitmen iklim Indonesia.
“Dibandingkan dengan energi terbarukan yang dapat menurunkan emisi karbon hingga 30-40%, pembangkit listrik berbasis gas justru dapat menghambat pencapaian target nol emisi,” tulis laporan tersebut. Ditegaskan pula bahwa menyebut gas sebagai “energi transisi” sangat menyesatkan, karena mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendesak untuk mengembangkan energi terbarukan yang sesuai dengan Perjanjian Paris.
Pemerintah selama ini memposisikan gas sebagai jembatan menuju transisi energi dari batu bara — yang masih mendominasi — ke energi terbarukan. Menteri Energi pada 2023 menyatakan bahwa gas adalah cara tercepat dan termurah untuk mengurangi emisi, dibandingkan pembangkit berbahan bakar diesel.
Namun, Leonard Simanjuntak, Direktur Eksekutif Greenpeace Indonesia dan editor laporan tersebut, menyebut narasi ini sebagai bentuk pengalihan karena minimnya investasi pemerintah di sektor energi terbarukan.
“Karena kita hampir pasti gagal mencapai target 23% energi terbarukan tahun ini, pemerintah justru mengalihkan narasi bahwa gas seharusnya menjadi sumber energi utama dalam masa transisi,” ujarnya dalam peluncuran laporan di Jakarta.
Masalah Biaya dan Dampak Sosial
Laporan tersebut juga mengungkap bahwa membangun infrastruktur gas berisiko menimbulkan kerugian negara hingga 941 triliun rupiah atau sekitar 57 miliar dolar AS hingga tahun 2040. Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat justru dapat memberikan manfaat ekonomi hingga 2.630 triliun rupiah (159 miliar dolar AS) dalam periode yang sama.
Ekspansi gas juga diperkirakan mengancam hingga 6,7 juta lapangan kerja, terutama di sektor perikanan dan industri pesisir yang akan terdampak dari aktivitas pengiriman gas, pencemaran, hingga penggusuran lahan. Sebaliknya, energi terbarukan justru berpotensi menciptakan hingga 96 juta lapangan kerja dalam 25 tahun mendatang karena sifatnya yang padat karya.
“Kita sudah melihat bengkel mikrohidro dan pembangkit tenaga surya dikelola langsung oleh masyarakat lokal di daerah-daerah,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS. “Dampak ganda ekonominya sangat besar.”
Pengembangan energi terbarukan skala kecil di tingkat komunitas juga lebih efisien dibanding menambah beban pada jaringan listrik nasional yang sudah kelebihan kapasitas.
“Bisnis kecil yang sebelumnya hanya bisa beroperasi sampai jam 6 sore karena listrik dari jaringan, bisa bekerja lebih lama dengan energi surya atau mikrohidro. Produktivitas meningkat,” tambah Bhima.
Selain itu, gas juga membutuhkan subsidi agar kompetitif dibanding sumber energi lain. Saat ini, batu bara, bensin, dan solar sudah disubsidi berat, termasuk gas untuk rumah tangga dan komersial. Menambahkan gas untuk pembangkitan listrik ke dalam daftar subsidi justru akan memperkecil ruang fiskal negara untuk mendanai energi terbarukan maupun program sosial lainnya, serta meningkatkan utang pemerintah.
Risiko Terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Laporan tersebut juga menyoroti dampak gas terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat pesisir. Di Karawang, Jawa Barat — lokasi PLTGU terbesar di Asia Tenggara — nelayan lokal mengeluhkan terganggunya jalur tangkap mereka akibat lalu lintas kapal pengangkut gas cair (LNG).
“Banyak yang merasa ekosistem terumbu karang juga rusak,” kata Bhima. “Di wilayah pengembangan lain seperti Sumatra Utara, PLTGU dibangun dekat kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Jadi dampaknya luas.”