Amartha Menjembatani Akses Pembiayaan bagi Pengusaha Perempuan di Daerah Terpencil

Amartha Menjembatani Akses Pembiayaan bagi Pengusaha Perempuan di Daerah Terpencil

Di tengah tekanan ekonomi yang meningkat, jutaan perempuan yang menjalankan usaha kecil di wilayah pedesaan Indonesia masih belum terjangkau oleh layanan perbankan konvensional. Dalam situasi ini, perusahaan fintech seperti Amartha hadir sebagai solusi dengan menawarkan pinjaman mikro kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dari sistem keuangan formal.

Amartha, sebuah platform pinjaman yang berbasis di Jakarta, telah memainkan peran penting dalam menjembatani kebutuhan pembiayaan di komunitas terpencil dengan menghubungkan para peminjam dengan institusi keuangan. Didirikan pada tahun 2010, Amartha kini memiliki sekitar 3 juta peminjam aktif — 99 persen di antaranya adalah perempuan yang mengelola usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), menurut data perusahaan.

UMKM sendiri merupakan tulang punggung ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini, menyumbang lebih dari 60 persen produk domestik bruto dan menyediakan lapangan kerja bagi hampir 117 juta orang — sekitar 97 persen dari total angkatan kerja, berdasarkan estimasi pemerintah. Namun, mayoritas UMKM masih beroperasi secara informal, tanpa riwayat kredit dan akses modal yang memadai.

“Saya bangga karena kami tidak hanya melayani peminjam di kota-kota besar, tetapi juga mereka yang berada di pulau-pulau terpencil di seluruh Indonesia,” ujar CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra, dalam Forum Akar Rumput Asia yang digelar Amartha bulan lalu di Bali.

“Pertumbuhan kami sebagian besar berasal dari luar Jawa dan kota-kota besar. Jadi bisa dikatakan, para peminjam kami berasal dari komunitas yang belum terlayani dengan baik,” tambahnya.

Amartha menawarkan pinjaman modal kerja berkisar antara Rp6 juta hingga Rp21 juta, dan menghubungkan peminjam di pedesaan dengan pemberi pinjaman lokal. Sejak diluncurkan, Amartha telah menyalurkan lebih dari Rp35 triliun — atau sekitar US$2,2 miliar — yang sebagian besar diberikan kepada perempuan pengusaha di daerah berpenghasilan rendah atau wilayah yang sulit dijangkau secara geografis.

Namun, para pengamat menilai bahwa penyaluran pinjaman ke komunitas ini tetap menghadapi berbagai tantangan, terutama karena rendahnya literasi keuangan dan digital. Tantangan ini semakin terasa di wilayah timur Indonesia, di mana akses internet masih terbatas dan transaksi tunai masih menjadi kebiasaan utama.

“Kami sedang membangun perusahaan teknologi untuk melayani komunitas yang masih mengandalkan uang tunai, komunitas yang belum terbiasa dengan dunia digital. Itu adalah kesenjangan yang sangat besar,” kata Taufan. “Situasinya tentu berbeda jika yang dilayani adalah masyarakat perkotaan yang sudah memiliki smartphone.”

Dengan pendekatan berbasis teknologi yang inklusif dan fokus pada pemberdayaan perempuan, Amartha berupaya mengubah wajah pembiayaan mikro di Indonesia. Namun, kesenjangan digital dan keterbatasan infrastruktur tetap menjadi tantangan utama yang harus diatasi untuk menciptakan akses keuangan yang benar-benar merata.